Pengertian kata “Budaya”
kata “budaya” berasal dari
bahasa Sansekerta, yaitu Buddhaya yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi dimana
artinya adalah segala hal yang berhubungan dengan budi dan akal
manusia. Dalam hal ini, budaya sangat berkaitan dengan bahasa atau cara
berkomunikasi, kebiasaan di suatu daerah atau adat istiadat.
Berbicara tentang budaya,
satya merasa tertarik terhadap budaya suku bauzi di papua dan budaya suku sasak
di NTB
Budaya suku bauzi di papua
Sebagai suku yang menempati kawasan terisolir, sebagian lelaki Bauzi
masih mengenakan cawat. Ini berupa selembar daun atau kulit pohon yang telah
dikeringkan lalu diikat dengan tali pada ujung alat kelamin. Mereka juga
memasang hiasan berupa tulang pada lubang hidung. Sedangkan para wanita
mengenakan selembar daun atau kulit kayu yang diikat dengan tali di pinggang
untuk menutupi auratnya. Tapi tidak mengenakan penutup dada. Pada acara pesta
adat dan penyambutan tamu, kaum lelaki dewasa akan mengenakan hiasan di kepala
dari bulu kasuari dan mengoles tubuh dengan air sagu. Sebagian besar suku ini
masih hidup pada taraf meramu, berburu dan semi nomaden (berpindah-pindah).
Karena itu, mereka membuat sejumlah peralatan seperti, panah, tombak, parang,
pisau belati, dan lain-lain untuk berburu.
Mereka berburu binatang
hutan seperti babi, kasuari, kus-kus dan burung. Buruan itu dimasak dengan cara
dibakar atau bakar batu. Selain itu, Suku Bauzi juga menokok sagu sebagai
makanan pokok dan menanam umbi-umbian. Namun jarang mengkonsumsi sayur-sayuran.
Itulah sebabnya pada anak-anak balita, ibu hamil dan ibu menyusui dari suku ini
sering mengalami gejala kurang gizi dan animea. Meski terbatas, mereka juga
memiliki pengetahuan mengenai cara pengobatan alami dengan memanfaatkan
tumbuh-tumbuhan hutan (etno-medicine). Suku Bauzi sejak awal hidup secara
nomaden, menyesuaikan diri dengan kebutuhan makanan dan kenyamanan suatu
wilayah. Mereka membangun bifak di pinggiran sungai dan hutan agar membantu
proses perburuan, meramu atau berkebun.
Hanya saja, mereka tidak
mengenal cara bercocok tanam yang baik. Dengan bantuan para misionaris, suku
ini bisa sedikit mengenal cara-cara berkebun. Pada perkampungan kecil tempat
bermukim, mereka membangun rumah-rumah gubuk berdinding kulit kayu dan beratap
daun rumbia (daun sagu) atau kulit pohon. Tempat hunian itu dibuat berbentuk
rumah panggung. Hingga kini mereka masih membangun rumah seperti itu. Karena
tergolong suku terasing, sebagian besar suku Bauzi belum bisa berbahasa Melayu
(Indonesia), termasuk tidak bisa baca tulis dan berhitung. Mereka hanya
berkomunikasi secara lisan dengan menggunakan bahasa lokal.
Orang Bauzi umumnya masih menganut kepercayaan suku dan adat istiadat
(animisme).
Namun kini sekitar 65
persen telah memeluk Kristen sebagai dampak perjumpaan dengan para misionaris
dari Eropa, AS dan Papua. Dalam kehidupan sosial mereka tidak menganut model
kepemimpinan kolektif yang kuat sehingga bisa menjadi panutan bagi anggota
komunitas yang lain. Ketika terjadi konflik di antara mereka, akan sulit
diselesaikan. Para ahli bahasa (linguist) yang juga misionaris dari SIL dengan
dibantu penterjemah lokal telah berusaha mempelajari bahasa dan dialek suku
Bauzi selama bertahun-tahun. Upaya ini berhasil dengan penerbitan berbagai
literature tentang suku ini, termasuk penerjemahan Alkitab versi Perjanjian
Baru ke dalam bahasa Bauzi oleh Dave dan Joice Briley. Dari catatan SIL, bahasa
Bauzi memiliki sekitar 1350 kosakata yang terbagi dalam tiga dialek, utama,
yakni dialek Gesda Dae, Neao dan Aumenefa.
Sejak penemuan suku ini
pada tahun 1980-an, mereka terus dididik oleh para misionaris asing dan lokal
yang selain bekerja mewartakan injil Kristen, juga melakukan misi pelayanan
sosial. Hasil dari pekerjaan ini melahirkan pembangunan gereja yang digunakan
sebagai tempat ibadah, sekaligus menjadi tempat pelayanan sosial bagi suku
Bauzi. Pekerjaan penginjilan dan pelayanan kepada suku ini juga dilakukan
Yayasan Penginjilan dan Pelayanan Masirei (YPPM) sekitar awal 1990-an. Tugas
itu kemudian dilanjutkan lagi oleh Yayasan Bethani selama beberapa tahun. Sejak
tahun 1995, Yayasan Amal Kasih juga bekerja secara khusus menangani Suku Bauzi
di Kampung Fona hingga
sekarang.
Budaya suku sasak di NTB
Suku Sasak adalah suku
bangsa yang mendiami pulau Lombok dan menggunakan bahasa Sasak. Sebagian besar
suku Sasak beragama Islam, uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat
praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu, namun hanya
berjumlah sekitar 1% yang melakukan praktik ibadah seperti itu. Ada pula
sedikit warga suku Sasak yang menganut kepercayaan pra-Islam yang disebut
dengan nama "Sasak Boda".
Adat istiadat suku sasak dapat disaksikan pada saat resepsi perkawinan,
di mana perempuan apabila mereka mau dinikahkan oleh seorang lelaki maka yang
perempuan harus dilarikan dulu kerumah keluarganya dari pihak laki laki, ini
yang dikenal dengan sebutan merarik atau pelarian.
Caranya cukup sederhana, gadis pujaan itu tidak perlu memberitahukan kepada kedua orangtuanya. Bila ingin menikah, gadis itu dibawa. Namun jangan lupa aturan, mencuri gadis dan melarikannya biasanya dilakukan dengan membawa beberapa orang kerabat atau teman. Selain sebagai saksi kerabat yang dibawa untuk mencuri gadis itu sekalian sebagai pengiring dalam prosesi itu. Dan gadis itu tidak boleh dibawa langsung ke rumah lelaki, harus dititipkan ke kerabat laki-laki. Tentu menikahi gadis dengan meminta izin kepada orang tuanya (redaq) lebih terhormat daripada mencuri gadis tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, namun proses seperti ini sudah sangat jarang ditemukan karena kebiasaan orang sasak lebih dominan mencurinya supaya tidak terhambat oleh hal-hal yang tidak diinginkan seperti tidak disetujui orang tua gadis atau keterbatasan kemampuan dalam hal materi karena proses "redaq" biasanya menghabiskan biaya yang lebih besar daripada melarikan gadis (merarik) tanpa izin.
Dalam proses pencurian
gadis, setelah sehari menginap pihak kerabat laki-laki mengirim utusan ke pihak
keluarga perempuan sebagai pemberitahuan bahwa anak gadisnya dicuri dan kini
berada di satu tempat tetapi tempat menyembunyikan gadis itu dirahasiakan,
tidak boleh diketahui keluarga perempuan. 'Nyelabar', istilah bahasa setempat
untuk pemberitahuan itu, dan itu dilakukan oleh kerabat pihak lelaki tetapi
orangtua pihak lelaki tidak diperbolehkan ikut.
Rombongan 'nyelabar'
terdiri lebih dari 5 orang dan wajib mengenakan berpakaian adat. Rombongan tidak
boleh langsung datang kekeluarga perempuan. Rombongan terlebih dahulu meminta
izin pada Kliang atau tetua adat setempat, sekadar rasa penghormatan kepada
kliang, datang pun ada aturan rombongan tidak diperkenankan masuk ke rumah
pihak gadis. Mereka duduk bersila dihalaman depan, satu utusan dari rombongan
itu yang nantinya sebagai juru bicara menyampaikan pemberitahuan.
Perbedan dari budaya suku bauzi dan sasak
Perbedaan dari segi kepercayaan, dalam suku
bauzi mereka kebanyakan masih ikut aliran animisme meski mayoritas sudah masuk
agama kristen namun adat mereka masih kental dengan roh nenek moyang.
Sementara suku sasak mayoritas beragama
islam, dan memiliki praktek islam yang unik pada umunya yaitu islam wetu telu.
sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bauzi
https://jurnalarkeologipapua.kemdikbud.go.id/index.php/jpap/article/view/31
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sasak
sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bauzi
https://jurnalarkeologipapua.kemdikbud.go.id/index.php/jpap/article/view/31
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sasak